maaf...
sebenarnya q ingin kau jadi kasih q
...
tapi q tahu
...
kau tak siap untuk itu
...
maaf...
...
terserah kau tak setuju!
...
karna q lagi egois!
...
ana habbaitak!
Rabu, 21 Juli 2010
MaaF...
maaf q tak sepintar mereka
karna q masih belajar
bagaimana caranya mencintaimu
...
maaf q tak seromantis mereka
karna q masih mencoba
bagaimana caranya bekata-kata
...
maaf q tak seperti mereka
karna Tuhan tak merestuinya
...
maaf q mencintaimu
tapi tak perlu kau jadi kasihku
...
maaf...
q lebih bahagia
melihat kau bahagia
...
mereka juga bahagia
...
maaf...
karna q masih belajar
bagaimana caranya mencintaimu
...
maaf q tak seromantis mereka
karna q masih mencoba
bagaimana caranya bekata-kata
...
maaf q tak seperti mereka
karna Tuhan tak merestuinya
...
maaf q mencintaimu
tapi tak perlu kau jadi kasihku
...
maaf...
q lebih bahagia
melihat kau bahagia
...
mereka juga bahagia
...
maaf...
Rabu, 14 Juli 2010
SAHABAT
Seperti biasa, Global Warming menghadirkan panas yang tak terelakkan entah di Bandung, Malang, dan kota-kota hujan lainnya, apalagi di kota Metropolitan seperti Jakarta, Surabaya. Entah sudah berapa lama, akibat fermentasi bumi yang terlampau cepat karena adanya bantuan dari polusi asap-asap knalpot yang tak pernah berhenti menghembuskan asapnya bagai pecandu rokok kelas wahid.
Siang itu, aku dan sahabatku, Roni, baru pulang dari kuliah yang membuat kami harus berjalan dibawah atap teras toko, mencari keteduhan dari sengatan sinar matahari. Namun, terkadang kami harus mengalah untuk menghindar kesana-kemari agar tidak bertabrakan dengan orang-orang yang menjadi raja ditoko dan orang-orang yang senasib dengan kami.
Kulitku yang lebih gelap dari kulit Roni yang berwarna putih itu lebih banyak menyerap panas yang dipantulkan oleh aspal, akibatnya, keringatku pun berbanding dua kali lipat dari keringat Roni, tapi tak apalah, hitung-hiung detoksitifikasi gratis tanpa perlu bersouna.
Mobil Roni sedang rusak, jadi, taksi yang kami cari sejak tadi tak terlihat, dan hal itu semakin memperburuk keadaan kami.
“Buk…!”
“Au….”
“Sorry..”
Roni menabrak seorang perempuan dan semua buku yang dibawa perempuan itu berjatuhan. Secara reflek, Roni berjongkok, membantu memungut buku-buku yang berjatuhan tadi.
“Sorry, g’ sengaja” kata Roni.
“G’ sengaja, aku juga g’ ngelihat” jawab perempuan itu.
Setelah selesai, mereka bedua bangkit, Roni mematung sesaat dan langsung menjulurkan tangannya mengajak berkenalan.
“Roni…..” sambil menjulurkan tangannya.
Perempuan itu menjambut tangan Roni.
“Silvi….”
Roni seakan-akan lupa dengan panas yang sudah membuat aku seperti ubi rebus.
“Itu?” tanya Silvi kepada Roni.
“Oo… dia sahabat gue, namanya Aji”
“Maksudnya Azi,” sahutku karena Roni salah menyebut namaku.
“Biasa, lidah keturunan orang betawi g’ bisa bilang Z” lanjutku.
Aku membiarkan Roni berbincang-bincang dengan perempuan itu, aku melihat ada cahaya kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya, aku tidak mau menghapus itu, biar selesai sendiri, lagipula, aku sudah mulai biasa dengan panas ini.
Selesai mereka berpisah dan mata Roni masih mebuntuti Silvi,
“Men…..” katanya. “Sepertinya gue Ji. Ci. Pi. Three,”
“Apaan tuh???” aku tak mengerti.
“Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama”
Aku mematung tanpa aku sadari, aku menurunkan tas yang sejak tadi menaungiku.
Kebahagian sahabat adalah segala-segalanya, seorang sahabat akan bahagia bila sahabatnya bahagia, begitulah yang aku rasakan saat ini, Roni sedang jatuh cinta, kalian pasti tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, tak ada kata yang pas agar orang tahu bahwa kita sedang jatuh cinta, seakan-akan kata cinta tak bersinonim dan tak berantonim, kata tunggal yang tak dapat diartikan kecuali oleh kata itu sendiri.
Akibatnya, malam aku dugem di Retrix sendirian, maksudku tanpa sahabat, meski kelima teman-temanku menemaniku.
Asap rokok dan suara musik yang dimainkan D.J. langsung menyambut kami. Kami terhenti untuk mencari tempat kosong, namun, imposible karena kebetulan malam ini malam minggu, jadinya, tempat ini lebih ramai dari biasanya.
“Guys, gue duluan ya!” kata Doni.
“Mo kemana, loh???” kata Steve.
“Ada yang nungguin gue!”
Doni melangkah, namun segera kami tarik kembali.
“Siapa?!” tanyaku sambil berteriak.
Kami semua terpancing oleh kata-katanya, soalnya, ke Retrix saja kami tidak janjian, kok dia ada janji disini, dan yang mengherankan lagi, yang mengusulkan kita datang kesini adalah Jo, karena kebetulan kami berlima adalah Jo Jo Ba (Jomblo Jomblo Bahagia).
“Semua cewek-cewek yang ada disini!”
“Whooooooo……”
Kami serentak menyorakinya, mendorong-dorong kepalanya.
“Emangnya kenapa?”
“Sok kegantengan loh!!” kata Zaki mewakili suara kami.
“Apa?!” tanya pura-pura tidak mendengar.
“Sok kegantengan loh!!” teriak Zaki lagi.
“Apa?!”
Kami kembali mendorong kepalanya.
“Udah-udah ayo!” ajak Jo.
“Kemana?” tanya Ori.
Jo menunjuk tempat dipojok ruangan kiri, disana ada lima cewek yang sedang minum-minum dan merokok, salah satunya ada yang melambaikan tangannya kepada kami.
“Jalan bos!” kata Doni.
Doni berjalan duluan, membelah lautan manusia yang bergelombang karena musik yang dimainkan oleh D.J. Namanya saja Doni, sambil berjalan menuju tempat yang Jo maksud, ia menggoda cewek-cewk yang ditemui meski disampingnya ada cowoknya.
“Keterlaluan, untung kamu g’ dikeroyok” kataku setelah kami keluar dari gerombolan manusia itu.
“Maksud lo?”
“G’ ngeliat pacar cewek-cewek yang lo godain pada marah” sahut Ori.
“Ceweknya seneng gue godain”
“Whoooooo….”
Mereka berlima langsung duduk disamping cewek-cewek teman perempuan Jo, sedangkan aku duduk dipojok bangku disamping Jo. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri yang sengaja aku buat sibuk agar tidak kosong.
“Zi….”
Jo menyikutku, aku langsung menoleh dan bertanya dengan bahasa tubuh, mengangkat kepalaku sedikit sebagai ganti dari kata “apa??”
Jo menunjuk ke kerumunan orang-orang yang sedang terhipnotis oleh lagu D.J dengan kepalanya. Aku lalu menoleh ke arah yang Jo maksud.
Silvi.
Tak sengaja maku manankap tubuhnya yang sedang bergoyang-goyang yang sedang mengikuti derap musik. Jo lalu bangkit lalu berjalan mendekatinya.
“Hai…..”
Ada sebuah suara yang menyapaku dari belakang. Aku menoleh dan teman perempuan Jo sudah menjulurkan tangannya.
“Yuri….” katanya memperkenalkan diri, aku menyambutnya.
“Azi…..”
“Whei…minum-minum” kata Doni kapada kami semua sambil membagikan gelas-gelas yang berbuih.
“Oke…!sebelum kita minum, lebih baik kita toss dulu, sebagai tanda di mulainya pertemanan kita,” lanjutnya
Triiiing…..
Gelas-gelas kami saling beradu dan dengan cepat mereka menghabiskan minumannya masing-masing. Sedang aku kembali ke Jo dan Silvi yang kelihatannya semakin akrab.
“Kok g’ di minum???”tanya Yuri dari belakang.
“Ah.g’..g’ minat aja” Aku lalu menaruh gelas itu ke meja.
“Rokok??”katanya sambil menyodorkan sebatang rokok L.A menthol
“Makasih”tolakku halus.
“Atau ini???”katanya lagi sambil menyodorkan sesuatu yang di bungkus oleh kertas rokok.
Aku menerimanya dan memandang benda itu.
“Hanya dengan ini,otak manusia yang ingin mengalahkan kekuatan Tuhan bisa di buat bagai bayi” Pikirku.
“Sorry aku g’maen ginian” Aku mengembalikannya pada Yuri yang sudah menyulut rokoknya.
“Loe g’ ngerokok???
“Terserah……”
Aku kembali menoleh ke arah Silvi dan Jo. Entah apa yang mereka bicarakan, namun, mataku dibuat terbalalak, mereka ciuman. Okelah aku anggap itu tak apa, hal itu adalah sebuah kemakluman di zaman yang tambah edan ini.
***
Hari berganti dan kejadian semalam tak mungkin aku ceritakan pada Roni, biarlah hal itu menjadi rahasia. Roni semakin bahagia, karena ternyata Selvi kuliah di Universitas yang sama dengan kami, akan tetapi, hal yang membuat kami terkejut adalah dia putri dari Rektor kami.
Waktu bergulir, sore datang dengan membawa matahari ke barat. Hari ini, hari paling sibuk bagiku, dari pagi sampai sore aku harus kuliah. Namun, untung saja sore ini sedikit mendung, jadi sinar matahari sore yang memang masih panas tak kurasakan.
Sekali lagi silvi.
Aku melihat dia bersama seorang cowok turun dari bis kota, berbincang-bincang sebentar dan sekali lagi, aku melihatnya berciuman dan ia pun pergi dengan taxi yang ia stop. Aku kembali berjalan menuju halte bus yang kebetulan cowok yang tadi bersama silvi duduk di sana.
“Misi…”, kataku.
“Oh, iya”
“Sendirian mas?” tanyaku basa-basi
“Iya”
“Tadi pacarnya?”
“Yang mana?” tanyanya tak mengerti
“Yang tadi itu”
“Oh…, iya, emang kenapa?”
“Enggak cuma beruntung aja mas punya pacar secantik dia”, jawabku, agar emosinya yang tadi sedikit keluar meredup.
“Ya iyalah, gue gitu loh”, katanya bangga
Bis datang dengan sedikit kejantanan yang dimilikinya agar tetap bisa menyusuri jalan-jalan kota, meskipun ia sudah udzur.
****
Matahari kembali muncul, untung saja ia masih muncul dari timur, tak melawan kodrat-Nya hingga suatu saat ia akan menjalanka perintah-Nya untuk terbit dari barat.
Hari ini aku melihat wajahnya murung, padahal dua hari yang lalu ia mengatakan bahwa ia falling in love.
“Kenapa bro?”, tanyaku.
“Kayaknya gue gak pantas sama silvi”, jawabnya dingin.
Aku terkejut mendengar jawabannya, padahal, kemarin malam aku melihat ia berciuman dengan jo di retrix, esok singnya, bersama pacarnya, dan semalam aku melihatnya bergelayut pada Om Om di parkiran mall.
“Maksudnya?”, tanyaku tak mengerti sekaligus tak percaya.
“Ya…, gue ngerasa gak pantes ajaama silvi. Dia cantik, pinter, anak ektor kita, gue?”
“Hah? Cuma itu?”
“Maksud, lo?”
“Cuma gara-gara yang tiga iu kamu ngerasa gak pantes ama dia!” jawabku sedikit kesal karena dia tak tahu apa yang telah silvi lakukan, meski aku hanya tahu sekelumit saja.
“Terus …, gimana?”
“Ya…, kalau aku pikir, malah dia yang gak pantas teima cinta kamu, coba kamu lihat, kamu itu ganteng, pinter, tajir punya, bapak direktur dua perusahaan, dan yang paling penting, dia g’ punya sahabat seperti aku,” kataku sambil sedikit membanggakan diri.
“Jadi…, menurut lo, gue pantes ma dia?” tanyanya setelah ke-pede-annya bangkit lagi.
“Lebih..!!”
“Thanks, bro. lo emang sahabat sejati gue, gue tadi g’ pede untuk nembak dia, sekarang, berkat loe, gue bakal nembak dia sekarang, thanks bro,” katanya lalu pergi.
“Hah!” aku tak mengerti, padahal, maksud perkataanku tadi agar dia tidak berfikir untuk menjadikan Silvi pacarnya, karena dia tak pantas untuknya.
“Woi, Ron! Maksudku……, ahhh….”
Ia tak mendengarnya, ia malah melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum.
****
Malam datang, bulan pun harus memantulkan sinar matahari agar bumi sedikit bersinar meskipun itu percuma, atau setidaknya agar orang-orang tahu bahwa ia masih eksis menemani bintang-bintang berkelap-kelip untuk menghiasi langit bumi yang kini berwarna hitam.
Malam ini, aku, Roni, dan pacar barunya, Silvi, akan merayakan hari dimana mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih. Namun sayang, sampai pukul 21.00 WIB, masih belum terlihat batang hidungnya.
“Truss gimana????” tanyaku.
“G’ tau, Hpnya juga g’ aktif” jawabnya sambil tetap berusaha menghubunginya untuk kesekian kalinya.
“Kalau menurutku, kamu putusin aja dia.”
“Hah?!” dia terkejut mendengar perkataanku, “Maksud looo apa?!” lanjutnya.
“Putus, kamu putusin dia, kamu yang nembak, kamu yang putusin,”
“Tuh, khan?! Lo yang nyemangatin gue, sekarang, loe yang nyuruh gue mutusin dia, maksud loe apa? Jangan gara-gara dia lom dateng, loe nyuruh gue untuk
Mutusin dia, g’!” katanya lalu bersandar pada sandaran bangkunya.
“Maksud ku waktu itu bukan, bukan untuk menganjurin kamu supaya nembak
Dia, aku cuma g’ mau kamu masuk ke lubang buaya.
“Udah dech, loe mabuk?, ya?
“Nggak, Aku sadar kok!”
“Truss maksud lo apa, lo gak mau gue masuk ke lubang buaya?”
“Ya…”
“Ah …, udah lah, lo udah ngantuk, ya? Ya udah kita pulang,”katanya memutus perkataanku, memanggil wait trees dan membayar billnya dan mengajak aku pulang. Aku bersikeras untuk tetap tinggal. Namun, aku harus mengalah, karena aku sadar, ia menahan emosinya karena yang sedang berbicara dengannya adalah sahabatnya.
****
Sekali lagi,, kudapati dia sedang berjalanbergandengan dengan mesrah, dengan seorang cowok, sayang, roni tak melihat hal ini, ia harus menemani maminnya berbelanja, meski ia berada di mall ini.
Kesempatan
Silvi sedang berbicara dengan teman-temannya dan cowok yang tadi bersamanya duduk agak jauh dari dirinya, aku mengham piri cowoknya dan sedikit berbasa-basi agar terasa akrab.
“Pacarnya, mas?” tanyaku sambil memandang kearah orang yang tadi bersama Silvi.
“Oh…, iya “
“Cantik, ya!’ tanyaku sambil tersenyum bersahabat, namun, reaksi wajah Raihan langsung berubah.
“Maksud lo apaan?!”
“Ye…, jangan marah mas!
“Lo nantangin gue!”
“Hah? Ya…, e…, maksudnya buka begitu akukan Cuma muji aja, masa gak boleh?”
“Oh…, kata gue apaan “.
Waktu habis, silvi terlihat mengatakan permisi padanya sambil memberikan senyum bersahabat, beralasan ditunggu oleh teman, meski itu kenyataan, siapa tahu Roni sudah selesai dengan maminya, menolak agar aku tak usah dikenalkan pada pacarnya.
****
Malam kembali datang, malam ini aku menemani Ronim makan rujak di rumahnya dan malam ini aku bulatkan niat untuk membeberkan semua kebohongan Silvi.
“Ron, menurut kamu, Silvi itu gimana?”
“Maksud lo?’ tanyanya sambil mengupas mangga.
“Ya…., gak tau, cinta aja?
“Menurut kamu, dia bakal setia, nggak?”
Mendengar pertanyaan ku, ia menghentikan pekerjaannya dan menatapku tajam.
“Maksud lo apaan?!” tanyanya dingin.
“Ya….”
“Udah deh, gak usah mulai,” Ia kembali melanjutkan pekerjaannya dan sepertinya atau lebih tepatnya, pastinya ia sudah mengerti maksudku.
“Ya…”
“Lo gak mau gue masuk ke lubang buaya, gitu?”
“…….”
“Maksud lo apaan?! Gue gak ngerti ama pikiran lo!” ia kembali mengupas setelah sesaat memandangku.
“Soalnya kamu gak tau siapa dia!
“Truss lo tahu apa?!” katanya sambil berteriak serta mangga dan pisau yang sejak tadi ia genggam.
Aku diam tak segera menjawab, agar emosi tidak mempermainkan aku dan roni. Sepertinya roni mengerti keterdiamanku, ia memungut pisau dan mangga yang tadi menggelinding. Ia mengupas sambil berdiri dan aku pun juga ikut berdiri, lalu bersandar pada dinding belakang sofa yang tadi aku duduk.
“Sebenarnya, aku gak mau bilang ini ama kamu,”
“Apa?”
“Sebenarnya sebelum kamu jadian ama silvi, aku udah gak setuju,”
“Ok, truss…”
Dia tetap tenang ku harap terus berlanjut tanpa ada permainan emosi.
“Malamnya, setelah kamu kenalan ama silvi, aku pergi ke retrix ama deni, steve, ori dan juga jo, kamu gak bisa ikut karena…”
“Ya…” ia memotong perkataanku sambil mengangguk-ngangguk dan menaruh mangga yang sudah ia kupas lalu mengambil yang satunya lagi.
“Di sana, jo kenalan ama silvi,”
Ia menoleh lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Aku lihat dia…”
“Apa?”
“Dia…”
Glek
“Dia ciuman ama silvi”
Ia berhenti mengupas kulit apel itu, lalu melanjukannya kembali.
“Terus besok sorenya, aku ngelihat dia ma turun cowok dari bis kota”.
“….”
“Trus, dia ciuman ama cowok itu, aku tanya ma dia, apa dia pacarnya atau bukan?”
“Trus,?”
“Iya”
“Sepupunya kali?”
“Buat apa dia ciuman, di tempat umum lagi!”
Dia terdiam.
“Tadi siang, waktu kita nganter mami kamu ke mall,”
“Kenapa lagi?”
“Aku, ngeliat dia jalan ama cowok, waktu ia ngomong-ngomong ama teman-temannya, aku kenalan ama cowok yang tadi jalan ama dia!”
“Pacarnya juga?”
“Iya, katanya.”
“Menurut lo?”
“Yang paling parah,”
“Apa? Ia menoleh, wajahnya terlihat beku.
“Kemaren malem, dia jalan gandengan ama om-om di parkiran mall.”
Dia terlihat terkejut.
“Jangan ngefitnah deh lo!” kata-kata terdengar dingin.
“Ya deh, buat apa juga aku fitnah dia, apa untungnya?!”
“Gue sebenarnya udah mikir, waktu lo ngomong di puncak, kalo lo gak setuju gue jadian ama silvi, jangan-jangan, lo naksir ama dia?!”
“Najis, aku naksir ama cewe murahan kayak dia!”
“Eh jaga tu mulut ya!” katanya sambil menunjuk mukaku.
Emosi masih dapat ditahan hingga saat ini, akibatnya, setiap perkataan yang keluar terasa dingin.
“Buat apa aku jaga mulut buat cewek murahan macam dia!”
“Jangan fitnah deh lo!”
“Buat apa aku ngefitnah!” aku jadi ikut berteriak.
“Aku cuma g’ mau”, kataku dengan nada rendah.
“Kamu dimainin ma dia”.
“Urusannya ama lo apa?” ia ikut merendah.
“Aku ini sahabat kamu”.
“Bullshit! Seorang sahabat pasti senang bila sahabatnya senang!”
“Buat apa aku senang kalo sahabatku damainin!”
Kami terdiam cukup lama.
“Gak percaya gue.”
“Jadi, kamu lebih percaya dia? Cewek yang baru kamu kenal kemarin dari pada sahabat kamu sendiri!” jawabku.
“Sahabat yang gak ngedukung sahabatnya!”
“Sahabat gak mungkin ngebiarin sahabatnya masuk lubang setan.”
”Atau setan yang ngakunya sebagai sahabat?”
”Atau setan yang ngakunya sebagai sahabat?”
“Buat apa sahabat jadi setan kalo kebahagiaan sahabatnya adalah kebahagiaannya!”
“Brengsek!!”
Jleeeb
“Ah……..”
Aku merasa lambungku robek oleh pisau yang dipakai oleh Roni untuk mengupas mangga yang kini telah berada dalam perutku. Entahlah, kenapa waktu Roni berlari ke arahku dan menancapkan pisau yang sejak tadi digunakannya, entah apa yang ada dipikirannya waktu itu, ia pasti khilaf , tidak sadar sewaktu ia melakukan ini. Aku lebih senang menyebutnya begitu, bahwa ia sedang kalap, daripada ia melakukannya secara sadar dan mengikuti keinginan hatinya. Tak perlu kau tanyakan kenapa aku lebih senang mengatakan dia sedang kalap, cukup tiga kata.
“Karena aku sahabatnya.”
Pisau itu bergetar, Roni bergetar dan kulihat di sana, air matanya mengalir dari kedua bola matanya yang tak percaya harus membuka bendungannya yang sudah lama terkunci rapat karena hal ini.
“Ji, sorry Ji, gue, gue, gue, gue gak sengaja.”
“Ya, aku tahu itu sahabat, tenang saja, masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum asam-asam lambungku merembes ke seluruh rongga dadaku. Meracuni dari dalam tanpa engkau ketahui.
Aku tersenyum, aku menjawab permohonan maafnya dengan senyum seorang sahabat. Aku melorot kebawah dan duduk di lantai dengan bantuannya.
: Ji, lo harus tetap sadar, Ji. Gue ambil mobil dulu” katanya dan kulihat ia berlari menuju garasi.
Ternyata, pikiranku meleset, asam-asam itu lebih cepat meracuniku. Aku batuk kecil dan darah keluar dari mulutku. Takkan sempat.
*****
Hari ini aku menusuk perut sahabatku, Uji, baiklah, Uzi, entahlah apa yang aku pikirkan waktu itu, namun aku sadar saat aku melesitkan pisau itu keperut Uzi, aku melakukan itu dari hati, dari dalam hati, karena ia sudah keterlaluan, tapi aku tak kembali berfikir, apakah karena seorang wanita aku haarus membunuh dahabatku.
Selesai…
Mobil telah siap, dengan cepat akau berlari ke dalam rumah dan…..
“Ji…..”
Ia bergerak, kepalanya menunduk, aku mematung sesaat, tak percaya dengan yang ku lihat, dengan keadaan Uzi. Aku berhambur ke arahnya, menggoncang-goncangkan tubuhnya, menegakkan kepalanya sambil menepuk-nepuk pipi kirinya dengan tangan kananku sambil memanggil-manggil namanya, berharap ia akan sadar.
Mati……
SEMUT
by: El Mouzai*
Gempar! Yah gempar, kegemparan langsung terjadi diseluruh area Ponpes. Bukan gempar karena ada bom, pencuri, atau kedatangan presiden Obama, apa lagi Miss Universe (mimpi kale….), tetapi karena sebuah peraturan yang baru saja merengek dari dalam gedung hijau.
“wah, gak masuk akal nih kalo gini,” kata Roni di depan pintu kamar Q. 05.
“gak masuk akal gimananya?” tanya Sholeh yang sejak tadi bertarung dengan Al-fiyahnya.
“ya iyalah, di zaman modern, di zaman globalisasi kaya gini, kita dilarang punya komputer dan laptop!”
“kita? Kalian aja kale…” sahut Udin di pojokan kamar.
“hu… mentang-mentang jurusan kamu komputer! Jangan sok dong!” sembur Roni.
“biarin, salah siapa gak ngambil jurusan komputer?” jawab Udin.
“ye… ngelunjak ni anak!”
“mau gimana lagi, itu kenyataannya kok!”
“uh…”
“udah-udah, kok malah tengkar. Cuma masalah gituan,” serentak Roni dan Udin menunduk malu kepada ketua kamarnya.
“kamu, Roni, sudah berapa kali saya ingatkan, jaga emosi, jangan main urat, kalau main urat malah gak selesai-selesai, yang sabar coba.”
“betul itu,” celetuk Udin
“kamu juga!” gertak Ustadz Qomar yang langsung membuat Udin kembali menunduk malu, ”kamu jangan mentang-mentang di jurusan komputer, trus kamu besar diri. Jangan begitu! Kamu sudah berapa tahun nyantri di sini, kok masih seperti itu? Kan di Al-qur’an sudah di jelaskan,”janganlah kamu berjalan di atas Bumi ini jika kamu sombong.”
“iya ustadz, saya salah.”
“praktek nih, tad?” godaku pada ketua kamarku yang saat ini memegang tongkat ketua perkumpulan dai di pesantrenku.
“hahaha, kamu ada-ada saja.”
“trus, sekarang ini bagaimana?” kata Sholeh.
“ya mau gimana lagi, itu memang sudah peraturannya,” sahut Udin sambil berjalan mendekati Sholeh dan Ustadz Qomar yang sudah duduk berhadap-hadapan.
“ye, pendek otaknya ni anak,” kata Roni yang langsung duduk di pintu.
“ya kita cari jalan keluarnya dong!” ujar Taka yang sejak tadi diam di samping Sholeh.
“yap! Betul banget”
“tapi jalan keluarnya gimana, ustadz?” kata Roni.
“ya itu dia, gimana ya…?”
“yah...”
“apa lagi saya ada tugas buat makalah sosiologi, kalau gak ada komputer? Mau gimana coba?” ucap Taka.
“ye… kamu sih mending. Saya ini yang susah, saya kan sudah semester akhir, Kalau gak ada komputer, bagaimana saya bisa buat skripsi,” sambut Sholeh.
“iya ya, gak lulus jadinya entar.” sahut Roni.
“tapi tunggu dulu, kitakan gak bisa gitu aja…”
“gitu aja apanya?” potong Roni yang langsung membuatku terdiam.
“jangan potong dong! Emangnya ayam dipotong!”
“iya, sory-sory.”
“sudah lanjutkan.” kata ustadz menengahi.
”maksud saya, saya yakin temen-temen nyalahin pesantren kenapa ngeluarin peraturan seperti ini.”
“bukan nyalahin pesantren, tapi salah pengurus di gedung hijau itu tu…” sahut Sholeh.
“loh, kok bisa gitu?” tanya Udin.
“ya iyalah, coba pikir. Gak mungkinkan kalo pengasuh kita tu langsung ngeluarin peraturan seperti itu.”
“tapi kabarnya, itu langsung dari pengasuh,”ujar Taka.
“ah… gak mungkin…” jawab Sholeh.
“sudah-sudah jangan saling menyalahkan.”
“bukannya seperti itu, ustadz” sahut Sholeh.
“ah udah, dari pada debat mending nonton” ujar Fuad yang sejak tadi hanya diam memperhatikan.
“nonton apaan?” tanya Ustadz Qomar.
Fuad langsung nyengir sambil memperlihatkan laptopnya.
“haha, pintar banget ya, Biologi-Fisika,” ujar Roni.
“ya kan mumpung peraturannya itu belum di jalanin. Kan masih ada waktu satu minggu untuk mulangin,” kata Fuad memberi alasan, ”ya puas-puasin nonton Dua-Enam”
Serentak Faishol, Ulum, dan Izzam bangkit untuk bergabung bersama Fuad.
“ah, sudah, di pojok sana , nanti kelihatan keamanan lagi, sudah sana !”
“iya ustadz.”
Ustadz Qomar lalu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat anak buahnya yang baru puber.
“gara-gara itu tuh dilarang,” kataku memulai lagi.
“tapikan gak bisa langsung dilarang seperti ini,” sahut Taka.
“bener tuh, ini gak adil namanya,” susul Roni.
“banget,” sambut Sholeh.
“kok senyum, ustadz?” tanyaku saat melihat sebuah senyum di wajah Ustadz Qomar saat mendengar sambutan teman-temanku.
“ah, kalau seperti ini, saya ingat cerita dari buku yang pernah saya baca, tapi saya lupa judul bukunya.”
“sudahlah ustadz, gak penting, cerita aja langsung,” sahut Roni.
“iya ustadz, cerita saja, bener gak, Ka?”
Taka langsung mengacungkan jempol, pertanda setuju dengan perkataan Sholeh.
“oklah, saya langsung cerita.”
Mendengar hal itu, Fuad langsung mem-pause film “keringat” di laptopnya yang disusul protesan teman-temannya.
“ssstt… dengerin tu, ustadz mau cerita,” ujar Fuad.
Memang sudah hal yang sangat spesial di kamar Q.05, jika Ustadz Qomar mau bercerita, meski hanya cerita sederhana, tapi rugi rasanya jka tidak mendengarnya. Karena dari hal yang sederhana itu, ada makna-makna yang sangat hebat dan langsung mengena pokok persoalan.
“tapi kalau tidak ada kopi, ndak enak nih ceritanya.”
“ah, ustadz, cerita saja ustadz, saya mulai tadi sudah bela-belain diem nggak ikut-ikutan ngomong, takut ada yang tersinggung lagi, cerita dong ustadz,” sembur Udin yang sejak tadi memang diam.
“iya, iya, iya, maaf, ok, saya ceritakan, ceritanya itu seperti ini. Alkisah, ada seorang kekasih Allah yang merasa resah hatinya saat melihat penderitaan disuatu desa, padahal yang berbuat dosa hanya satu-dua orang saja, tapi yang mendapatkan azab malah semua penduduk desa. Di dalam hati, kekasih itu bertanya-tanya, dimanakah keadilan Allah? Bukankah Allah itu Maha Adil?,” Ustadz Qomar diam sesaat, memperhatikan ekspresi anak buahnya satu-persatu, tak luput, aku.
“ternyata, Allah langsung merespon bisikan hati kekasih-Nya. Respon Allah seperti ini, “coba kamu naik ke atas pohon,” kekasih itu lalu naik ke atas pohon. 1 jam, 2 jam, dan akhirnya seluruh tubuh kekasih itu di kerumuni oleh semut rang-rang (semut merah), beberapa saat kemudian ternyata ada salah satu semut yang jahil. Semut tersebut mencium bahu kekasih tersebut. Yah…kekasih kan juga manusia, kekasih tersebut langsung membunuh semua semut yang ada pada bahunya. Tidak cuma itu, ia juga menyingkirkan semut-semut yang ada pada dirinya, entah itu di sentil, dibunuh, atau di pites.
“setelah itu, Allah lalu bertanya kepada kekasih tersebut, “bagaimana? Dimana keadilanmu? Bukankah yang menggigit bahumu itu hanya satu semut. Lalu kenapa semua semut-semut yang ada didekatnya kau bunuh juga, bahkan diseluruh tubuhmu?” setelah itu, sang kekasih lalu beristighfar dan memuja atas kebesaran-Nya, hah… seperti itulah, sama seperti kita. Mungkin kalian bertanya-tanya, dimana keadilan peraturan yang baru itu? Iya kan ? Iya nggak?”
“iya sih,” jawab Roni.
“iya juga ya,” timpal Sholeh.
“he e,” susul Taka.
“iya bener,” sahut Udin.
Ustadz Qomar lalu menoleh kepadaku dan bertanya, “kenapa diam?”
“ah, o…ya, saya merasa apapun jalan keluarnya. Tidak akan lebih baik dari yang kita rasakan saat sebelum peraturan itu ada.”
Ustadz Qomar malah tersenyum mendengar kata-kataku.
“dan, ya… kita juga tidak bisa mengkritik, entah itu karena hal adi kuasa atau memang tidak dikritik. Padahalkan, kalau tidak ada kritikan malah gak akan maju-maju. Soalnya, kritikan itu untuk kebaikan, untuk merubah menuju arah yang lebih baik.”
Ustadz Qomar lalu kembali menoleh pada anak buahnya. Meninggalkanku di pojok kamar dengan pikiranku. Yah, dengan pikiranku yang langsung flashback pada saat sebuah peraturan baru yang beberapa bulan lalu keluar juga. Yang jeras, hal itu adalah sebuah diskriminasi pada santri putra. Padahalkan, yang salah hanya beberapa santri dari yang ribuan.
Ustadz Qomar dan teman-teman masih saling beropini tentang peraturan yang baru itu, sedangkan aku semakin merasa menjauh dari mereka, memikirkan nasib majalah sekolah yang aku pimpin sekarang tanpa sebuah komputer di kantor OSIS yang masih saja belum mendapat restu dari pengasuh.
Kamis, 241209 SM. Pas Pulang SMA
Kami bagai semut
satu menggigit
basmi semua!
Ratu tahu
bisa melindungi
hanya memberi kesempatan
pada tobat mentrinya
Kami bagai semut
satu berbuat gara-gara
kena semua!
Ratu tahu
kami tak bersalah
hanya saja
kami tak tahu maksud Ratu
Kami bagai semut
kami berkorban
demi satu yang manis
Ratu tahu
kami tak nyaman
hingga kamipun terdiskriminasi
hanya mencoba sabar kami
Kami bagai semut
dari Ratu
oleh Ratu
untuk Ratu
Tapi kami bukan semut!
kami bisa pergi tanpa kembali!
Bila kami semut
kami bisa menggigit lalu pergi,
tapi apa arti kami
tanpa Ratu
sukorejo, 240209 SM in Aliyah
*Pemred KREASSI
Masa bakti 2009-2010
Hak Allah
Kalau ada siang yang paling panas, rasanya hari inilah yang paling tepat, namun AC di mobil Yuza masih mampu menepis rasa panas itu.
Kasih, peganglah tanganku, dan tatap mataku, betapa aku, mencintaimu, katakanlah saat ini sayang, bahwaku hanya milikmu, milikmu.
Lagu Salju band mengalir lembut dari radio di mobil Yuza. Laju mobil melambat lalu berhenti didepan sebuah rumah. Ia lalu turun dan masuk ke halaman rumah itu, sebelumnya ia harus membuka gerbang yang tingginya seperut.
Ting Tong
Terdengar bel berbunyi
“mana lagi nih orang?” katanya membatin.
Ting Tong, Ting Tong, Ting Tong.
Tiga kali Yuza memencet bel, namun tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah.
“mungkin, dek Agus sedang sholat di dalam” kata seorang tetangga di samping rumah Agus yang memakai jilbab, manis.
Ia kemudian duduk menunggu di kursi yang memang sudah di sediakan di teras rumah
Cklek!
Yuza langsung menoleh mendengar suara pintu dibuka.
“kemana aja, lu? Sholat?”
“ya iyalah, tanpa ya iya dong” jawab Agus lalu duduk di samping kanan Yuza.
“Gus.”
“ya,” Agus langsung menoleh, “ntar ya, ngambil minum dulu, kamu minum apa?” tanya Agus menawarkan.
“yang dingin-dingin deh, panas banget!” sahut Yuza sambil menyeka keringatnya lalu berkipas-kipas dengan tangannya.
“masuk aja.”
Yuza lalu berjalan mengekor masuk ke dalam rumah.
Beberapa saat kemudian, Agus keluar dari dalam sambil membawa dua gelas es jeruk dingin yang, wi… bikin ngiler cuy, tau kan gimana rasanya kalo panas-panas ngeliat es jeruk nipis? Gitu deh. Yuza langsung menandaskan minumannya setelah dipersilahkan oleh Agus, secara, panas gitu loh.
Setelah kembali segar, Yuza kembali ingin bertanya kepada Agus setelah tadi terpotong oleh ajakan Agus untuk masuk dan minum yang, segerrr…
“Gus.”
“em?”
“gua pengen tanya, kenapa sih, lu sholat?”
“dzcuart”
Agus terkejut mendengar pertanyaan Yuza, sampai-sampai, es yang sedang mendinginkan mulutnya dan akan meluncur ke dalam tenggorokannya harus muncrat., dan membuat Agus terbatuk batuk.
“uhuk-uhuk-uhuk”
“lu gak pa-pa?”
Agus menggeleng lalu mengelap mulutnya dengan tisu yang ada di tengah meja.
“maksudnya apaan?”
“maksud gua, buat apa sih lu repot-repot sholat, jungkir balik nunggang-nungging? Apa gunanya coba? Apa gara-gara lu Islam, trus sholat gitu? Gua yang Islam mulai dari orok sampek gede kayak gini gak sholat gak kenapa-napa? Apa lu takut masuk neraka?” Yuza langsung nyerocos dengan pelbagai pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya.
“kamu salah nanyak gituan ama saya. Seharusnya kamu tu tanyanya ama da’i, kayak ustadz Arifin itu, ato, ama kiai, di jalan-jalankan banyak nama-nama pesantren yang cari sumbangan, lu masuk aja, nanyak sekaligus nyumbang”
“alah…, gak perlu, mereka cuma orang-orang yang sok pinter aja, pakek dalil inilah, dalil itulah, hadist inilah, hadist itulah, alah…”
“ya emang harus kayak gitu, itu dasarnya,” kata Agus cepat.
“mereka salah temapat kalo ngomong kayak gitu ama anak muda zaman sekarang, kita tu gak perlu dalil, hadits, gak perlulah, yang kita butuh cuma alasan yang rasional, simple, berisi, gak ngomongin pahala, neraka, ama surga. Kita masih muda, gak butuh pahala, cari pahala itu ntar, belakangan, kalo udah mo mati, udah tuek, baru kita nangis-nangis minta ampun, tobat, kan katanya Allah itu maha pemberi ampun, so, so what gitu loh,” Yuza kembali nyerocos memojokkan Agus dengan alsan-alasan serta pertanyaan yang, terserah deh kalian nanggapinya gimana.
“mereka kalo gak siap terjun ke masyarakat, mondok lagi deh, bisanya cuma ngeluarin hadits, dalil, pahala, siksa, dosa, tetek bengek yang bagi kita nggak ada artinya” lanjut Yuza semakin berapi-api, nampaknya dari dalam hati yang sedang mecari ilahi, merindukan-Nya, dan ingin mengenal-Nya..
Agus terdiam mendengar penjelasan Yuza, memang ada benarnya juga perkataan Yuza, tapikan mereka tidak sepenuhnya salah, mereka hanya menyampaikan, dan yang di sampaikan tak akan pernah bisa lepas dari hal-hal itu, surga, neraka, pahala, dosa, ama yang lain-lainnya. Karena seperti biasa, sifat manusia yang selalu bahkan harus bin wajib dari setiap apa yang dilakukannya ada suatu timbal balik yang setimpal, atau, malah lebih. -oleh karena itu, Allah selalu menyebut pahala dalam setiap UU yang Ia buat, mungkin- Selebihnya, di kembalikan kepada Allah, Tuhan yang satu, yang memang patut disembah, tak ada yang lain.
Tapi, mereka terkadang atau mungkin sering, salah menempatkan pesen-pesan moral yang seharusnya dapat merubah seorang manusia menjadi lebih baik, memang benar apa kata Yuza, manusia semacam kita, anak muda, gak butuh alasan-alasan yang sudah kuno, yang sudah berumur beratus-ratus tahun yang bermacam-macam, kebanyakan kita menganut aliran rasional, butuh kepada dalil ‘akli, secara akal.
“trus, maunya kamu apa?”
“alasan kamu,” jawab Yuza singkat.
Agus berpikir sejenak.
“gini emang bener apa kata kamu tadi, karena Islam kita sholat.”
“kok bisa gitu?”
“Iya, soalnya sholat itu termasuk rukun Islam yang lima, di posisi nomer dua lagi,” katanya memberitahu.
“jadi, kalo bukan Islam, kita gak harus sholat?”
“tetep. Harus, wajib malah. Kayak kita ini, kayak orang Islam,” jawab Agus mantep.
Yuza tidak percaya, “kok bisa?”
“koknya hilangkan,” kata Agus sambil tersenyum.
“ayolah, gua serius nih,” sahut Yuza sebel campur kesel karena jawaban Agus yang ada-ada aja.
“oke, menurut saya, itu yang perlu di garis bawahi, menurut saya jadi terserah orang mo bilang apa tentang pendapat saya, kalau mereka bisa mengalahkan argument saya, baru saya akan berubah haluan dengan hasil pemikiran saya, tentunya dengan menimbangkan beberapa hal, so, yang perlu di garis bawahi, saya ulangi…”
“ah… udah deh! Gak usah berbelit-belit, bribet tahu nggak. Oke, ini penadapat lu, gak masalah, wong yang gua tanyain itu pendapat lu, bukan pendapat orang lain,” potong Yuza cepat.
Agus menarik nafas dalam-dalam.
“menurut saya, cukup satu dalil, kalo dalam kamus bahasa arab, dalil artinya petunjuk, lanjut?” Tanya Agus pada Yuza, sedangkan yang ditanya menanggapinya dengan wajah sebal karena Agus terlalu banyak berintermazo.
“oke,”
“oke, oke melulu, cepetan dong!” sembur Yuza yang sedikit marah.
“iya iya, sabar dong, lu tahu gak, ceritanya nabi Musa waktu ia belajar ama…”
“iya-iya, gua tahu, cepetan dong!”
“sabar…”
“iya! Gua sabar!”
Agus tersenyum menang karena telah behasil mempermainkan sahabatnya, bukan karena apa, cuma pengen tahu, apa dia bener-bener pengen tahu dengan apa yang ia tanyakan atau hanya main-main saja, tapi itu setelah Agus melihat sikon yang mendukung untuk mempermainkan Yuza, kalo sikonnya gak tepat, bias-bisa, gagal acara dakwah yang gak sengaja nyrempet dia agar berpikir sejenak.
“bagi saya, alasan itu karena Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah kepada-Nya dan caranya adalah dengan kita sholat, surat apa itu ya?” Kata Agus mengingat-ngingat.
“bosen gua denger itu,” sahut Yuza cuek.
“lanjut?”
Yuza langsung menoleh.,“ada lagi?”
“ya iyalah, menurut lo?” jawab Agus, lucu.
“dengan kata lain,” Agus kembali serius, “itu adalah hak Allah.”
“maksudnya? Gua gak ngerti?”
“setiap sesuatu mempunyai hak, Allahpun punya hak.”
“bentar-bentar, tiap sesuatu, Allahkan bukan mahluk, katanya sih, kok dibilang sesuatu.”
“iya, saya tahu, makanya saya bilang sesuatu, bukan mahluk, Allah itukan punya dzat, mungkin? Kalo gak salah. Nah, kareana itu saya bilang mahluk, eh, maksudnya, sesuatu, karena Allah itu bukan mahluk, karena mahluk itu siwallah, selain Allah.”
Yuza diam, menunggu.
“seperti kata saya tadi, Allah punya hak, hak untuk di sembah, kita dzalim kalo hak Allah nggak kita penuhi, seperti kamu, coba kalo hak kamu saya ambil, gimana perasaan kamu,” lanjut Agus sambil memberi contoh.
“emangnya, Allah punya perasaan apa?”
“gak tahu, ya… contoh bahasanya kayak gitu dah.” Jawab Agus tak pasti.
“ya…” kata Yuza sambil memikirkan perkataan Agus.
“ya, itu.” Sahut Agus cepat.
“cuma itu?”
“iya!” kata Agus memastikan.
Yuza kembali diam, mencoba mencerna semuanya, berharap mendapatkan sesuatu, semacam pencerahan.
“sudah terlalu banyak alasan-alasan yang sudah dikeluarin ama ustadz-ustadz, da’i, kiai, macem- macemlah. Tapi, alasan yang paling rasional bagi saya juga ada.” sambung Agus.
“apaan?” tanya Yuza penasaran dengan perkataan Agus mengenai “alasan yang paling rasional”.
“karena kita ciptaan Allah, kita hamba Allah, dengan kata lain, kita budak Allah,” jawab Agus to the point.
Yuza kembali berpikir, mencerna apa kata Agus.
“sebagai budak, kita harus mengikuti apa kata tuannya,” lanjut Agus, “tapi dasar itu cukup kita pakai untuk kita sendiri, kalo mau disampaikan ama orang lain, lihat sikondomnya dulu, situasi dan kondisinya.”
Sekali lagi, Yuza diam, berpikir serius.
“katanya buat kita sendiri, kok kamu kasih tahu ama saya?” Tanya Yuza.
“ya, seperti kata saya, lihat sikondomnya, saya lihat kamu kurang puas dengan alsan-alasan yang saya keluarin tadi, ya, saya kasih tahu, lagi pula, sikondomnya cocok kok.” Agus beralasan.
“udahlah, kalo kamu pengen dapet pencerahan dari saya,jangan terlalu berharap banyak deh, semuanya tergantung ama Allah. Nabi Muhammad aja sampek tiga hari tiga malem gak makan gak tidur terus berdo’a karena pengen ngislamin pamannya, ama Allah di tolak, karena Allah gak ngehendakin, ya… kalo seandainya Allah ngehendakin, semoga aja, amin. Kamu bisa mendapat semacam pencerahan, tapi bukan dari saya, saya cuma perantara aja, tapi kok pake kata pencerahan ya? Kayak dakwahnya pastur-pastur orang Kristen, pencerahan? Oke juga,” kata Agus membatin.
“udah?” Tanya Agus.
Yuza tidak bergeming.
“ah, udahlah, semuanya kita kembalikan kepada Allah, mungkin saja, di lain waktu, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, enjoy, tek ezy men,” lanjut Agus.
“so, kamu mau apa kesini? Apa cuma pengan tanya itu? gak percaya saya.”
Yuza masih tetap diam, berpikir, serius.
“woi?!” Agus berteriak nyaring, mengagetkan, spontan saja, Yuza terperanjat kaget.
“apaan sih, lu?” kata Yuza sebal konsentrasinya terganggu.
“ya kamu itu, ditanyain malah diem”
“gua lagi berpikir, serius nih!”
“udahlah, berpikirnya dilanjutin nanti aja,”
“tapikan…”
“duh… nanti ajalah, sebenernya kamu mau apa ke sini?“ Agus mngulangi pertanyaan.
“gua, gua,” Yuza mengingat-ngingat apa tujuan sebenarnya ia datang ke sini.
“apa? Mo ngutang?”
“enak aja, lu!” sembur Yuza spontan, cepat., “oya, gua datang ke sini mo ngajak lu jalan-jalan.”
“panas men.” Tolak Agus sambil kipas-kipas dengan tangannya sendiri.
“kan di mobil gua ada ACnya.”
“macet,” kata Agus sambil menirukan aksen Cinta Lura.
“trus? Percuma dong gua datang jauh-jauh ke sini,” sahut Yuza kecewa.
Agus berpikir sejenak..
“gimana kalo ikut saya,” kata Agus memecah kebuntuan.
“kemana?” Yuza tak mengerti.
“udah ikut aja,” kata Agus sambil berjalan ke taman belakang.
Sesampainya di sana.
“wui…, bagus juga,” kata Yuza sambil mengedarkan pandangannya keseluruh taman belakan Agus, tiba-tiba matanya berhenti dan senyumnya yang tadi terkembang hilang, pada sebuah pohon setinggi dada yang daunnya digunting bundar.
Agus datang dari dalam dengan nampan yang di atasnya bertengger dua buah gelas besar es jeruk yang, slurup! Ditemani dengan kue-kue kecil yang nampaknya bikinan sendiri.
“kanapa, Za?” Tanya Agus heran melihat air wajah temannya.
“itu pohon apa?”
“yang mana?”
“itu,” kata Yuza sambil menunjuk pohon yang dimaksud.
“o…, itu beringin,” jawab Agus santai.
“hah?!” Yuza terkejut mendengar jawab Agus, “ngapain lu nanem pohon beringin? Ntar ada penunggunya, loh?!“
“nyaintai aja.”
“lagi pula saya sering baca haddad, kok” kata hati Agus, “warisan dari pondok…”
“nggak cuma beringin,” lanjut Agus, “itu di sana juga ada pohon jati,” katanya sambil menunjuk pohon di pojok yang lain, “cuma, ya itu, masih kecil, investasi masa depan!” lanjutnya mantap.
Yuza hanya geleng-geleng kepala mendengarkan Agus, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan kedua pohon itu, padahal itukan pohon ynag langka n’ termasuk yang dilindungi, apa lagi yang beringin, meski masih kecil, masih setinggi dada, sudah keliatan serem, ih…, gimana kalo malem-malem, jangan-jangan ada…, udah ah!
“woi, ngelamunin apa? Ngelamunin Ara, ya””
“enak aja! Siapa juga yang mikirin dia”
“cie…”
“apaan sih lo?! Emangnya kenapa kalo gua mikirin dia”
“gak pa-pa, berarti, bisa ditarik kesimpulan, barusan kamu ngayalin dia, ayo, ngaku?”
“normal kale, kalo gua mikirin dia.”
Agus tersenyum, memang apa salahnya kalo sahabatnya mikirin Ara, dia bukan apa-apanya Agus kok, Agus sadar itu dan Agus tahu, bahwa sahabatnya ini suka, atau mungkin cinta kepada Ara. Sayangnya, Ara beda sekolah dengan mereka berdua, sekolah yang menjadi musuh bebuyutan dalam arena tawuran yang mengegenerasi sampai sekarang, bagaimana mereka akan melewati rintangan yang sangat berat itu. Tapi, seperti kata pepatah, biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, kalo gak salah kayak gitu.
“ya udah deh, diminum dong! Mumpung masih dingin,” kata Agus lalu meminum es jeruknya lagi.
“iya!”
Mereka berdua menikmati panas hari itu dengan angin sepoi-sepoi, es jeruk, kue-kue kecil buatan tangan Agus sendiri serta alunan lagu yang mengalir dari dalam rumah. Panas!
Sukorejo, kamar terpisah
26 Pebruari 2009
+/- 10.52 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)