by: El Mouzai*
Gempar! Yah gempar, kegemparan langsung terjadi diseluruh area Ponpes. Bukan gempar karena ada bom, pencuri, atau kedatangan presiden Obama, apa lagi Miss Universe (mimpi kale….), tetapi karena sebuah peraturan yang baru saja merengek dari dalam gedung hijau.
“wah, gak masuk akal nih kalo gini,” kata Roni di depan pintu kamar Q. 05.
“gak masuk akal gimananya?” tanya Sholeh yang sejak tadi bertarung dengan Al-fiyahnya.
“ya iyalah, di zaman modern, di zaman globalisasi kaya gini, kita dilarang punya komputer dan laptop!”
“kita? Kalian aja kale…” sahut Udin di pojokan kamar.
“hu… mentang-mentang jurusan kamu komputer! Jangan sok dong!” sembur Roni.
“biarin, salah siapa gak ngambil jurusan komputer?” jawab Udin.
“ye… ngelunjak ni anak!”
“mau gimana lagi, itu kenyataannya kok!”
“uh…”
“udah-udah, kok malah tengkar. Cuma masalah gituan,” serentak Roni dan Udin menunduk malu kepada ketua kamarnya.
“kamu, Roni, sudah berapa kali saya ingatkan, jaga emosi, jangan main urat, kalau main urat malah gak selesai-selesai, yang sabar coba.”
“betul itu,” celetuk Udin
“kamu juga!” gertak Ustadz Qomar yang langsung membuat Udin kembali menunduk malu, ”kamu jangan mentang-mentang di jurusan komputer, trus kamu besar diri. Jangan begitu! Kamu sudah berapa tahun nyantri di sini, kok masih seperti itu? Kan di Al-qur’an sudah di jelaskan,”janganlah kamu berjalan di atas Bumi ini jika kamu sombong.”
“iya ustadz, saya salah.”
“praktek nih, tad?” godaku pada ketua kamarku yang saat ini memegang tongkat ketua perkumpulan dai di pesantrenku.
“hahaha, kamu ada-ada saja.”
“trus, sekarang ini bagaimana?” kata Sholeh.
“ya mau gimana lagi, itu memang sudah peraturannya,” sahut Udin sambil berjalan mendekati Sholeh dan Ustadz Qomar yang sudah duduk berhadap-hadapan.
“ye, pendek otaknya ni anak,” kata Roni yang langsung duduk di pintu.
“ya kita cari jalan keluarnya dong!” ujar Taka yang sejak tadi diam di samping Sholeh.
“yap! Betul banget”
“tapi jalan keluarnya gimana, ustadz?” kata Roni.
“ya itu dia, gimana ya…?”
“yah...”
“apa lagi saya ada tugas buat makalah sosiologi, kalau gak ada komputer? Mau gimana coba?” ucap Taka.
“ye… kamu sih mending. Saya ini yang susah, saya kan sudah semester akhir, Kalau gak ada komputer, bagaimana saya bisa buat skripsi,” sambut Sholeh.
“iya ya, gak lulus jadinya entar.” sahut Roni.
“tapi tunggu dulu, kitakan gak bisa gitu aja…”
“gitu aja apanya?” potong Roni yang langsung membuatku terdiam.
“jangan potong dong! Emangnya ayam dipotong!”
“iya, sory-sory.”
“sudah lanjutkan.” kata ustadz menengahi.
”maksud saya, saya yakin temen-temen nyalahin pesantren kenapa ngeluarin peraturan seperti ini.”
“bukan nyalahin pesantren, tapi salah pengurus di gedung hijau itu tu…” sahut Sholeh.
“loh, kok bisa gitu?” tanya Udin.
“ya iyalah, coba pikir. Gak mungkinkan kalo pengasuh kita tu langsung ngeluarin peraturan seperti itu.”
“tapi kabarnya, itu langsung dari pengasuh,”ujar Taka.
“ah… gak mungkin…” jawab Sholeh.
“sudah-sudah jangan saling menyalahkan.”
“bukannya seperti itu, ustadz” sahut Sholeh.
“ah udah, dari pada debat mending nonton” ujar Fuad yang sejak tadi hanya diam memperhatikan.
“nonton apaan?” tanya Ustadz Qomar.
Fuad langsung nyengir sambil memperlihatkan laptopnya.
“haha, pintar banget ya, Biologi-Fisika,” ujar Roni.
“ya kan mumpung peraturannya itu belum di jalanin. Kan masih ada waktu satu minggu untuk mulangin,” kata Fuad memberi alasan, ”ya puas-puasin nonton Dua-Enam”
Serentak Faishol, Ulum, dan Izzam bangkit untuk bergabung bersama Fuad.
“ah, sudah, di pojok sana , nanti kelihatan keamanan lagi, sudah sana !”
“iya ustadz.”
Ustadz Qomar lalu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat anak buahnya yang baru puber.
“gara-gara itu tuh dilarang,” kataku memulai lagi.
“tapikan gak bisa langsung dilarang seperti ini,” sahut Taka.
“bener tuh, ini gak adil namanya,” susul Roni.
“banget,” sambut Sholeh.
“kok senyum, ustadz?” tanyaku saat melihat sebuah senyum di wajah Ustadz Qomar saat mendengar sambutan teman-temanku.
“ah, kalau seperti ini, saya ingat cerita dari buku yang pernah saya baca, tapi saya lupa judul bukunya.”
“sudahlah ustadz, gak penting, cerita aja langsung,” sahut Roni.
“iya ustadz, cerita saja, bener gak, Ka?”
Taka langsung mengacungkan jempol, pertanda setuju dengan perkataan Sholeh.
“oklah, saya langsung cerita.”
Mendengar hal itu, Fuad langsung mem-pause film “keringat” di laptopnya yang disusul protesan teman-temannya.
“ssstt… dengerin tu, ustadz mau cerita,” ujar Fuad.
Memang sudah hal yang sangat spesial di kamar Q.05, jika Ustadz Qomar mau bercerita, meski hanya cerita sederhana, tapi rugi rasanya jka tidak mendengarnya. Karena dari hal yang sederhana itu, ada makna-makna yang sangat hebat dan langsung mengena pokok persoalan.
“tapi kalau tidak ada kopi, ndak enak nih ceritanya.”
“ah, ustadz, cerita saja ustadz, saya mulai tadi sudah bela-belain diem nggak ikut-ikutan ngomong, takut ada yang tersinggung lagi, cerita dong ustadz,” sembur Udin yang sejak tadi memang diam.
“iya, iya, iya, maaf, ok, saya ceritakan, ceritanya itu seperti ini. Alkisah, ada seorang kekasih Allah yang merasa resah hatinya saat melihat penderitaan disuatu desa, padahal yang berbuat dosa hanya satu-dua orang saja, tapi yang mendapatkan azab malah semua penduduk desa. Di dalam hati, kekasih itu bertanya-tanya, dimanakah keadilan Allah? Bukankah Allah itu Maha Adil?,” Ustadz Qomar diam sesaat, memperhatikan ekspresi anak buahnya satu-persatu, tak luput, aku.
“ternyata, Allah langsung merespon bisikan hati kekasih-Nya. Respon Allah seperti ini, “coba kamu naik ke atas pohon,” kekasih itu lalu naik ke atas pohon. 1 jam, 2 jam, dan akhirnya seluruh tubuh kekasih itu di kerumuni oleh semut rang-rang (semut merah), beberapa saat kemudian ternyata ada salah satu semut yang jahil. Semut tersebut mencium bahu kekasih tersebut. Yah…kekasih kan juga manusia, kekasih tersebut langsung membunuh semua semut yang ada pada bahunya. Tidak cuma itu, ia juga menyingkirkan semut-semut yang ada pada dirinya, entah itu di sentil, dibunuh, atau di pites.
“setelah itu, Allah lalu bertanya kepada kekasih tersebut, “bagaimana? Dimana keadilanmu? Bukankah yang menggigit bahumu itu hanya satu semut. Lalu kenapa semua semut-semut yang ada didekatnya kau bunuh juga, bahkan diseluruh tubuhmu?” setelah itu, sang kekasih lalu beristighfar dan memuja atas kebesaran-Nya, hah… seperti itulah, sama seperti kita. Mungkin kalian bertanya-tanya, dimana keadilan peraturan yang baru itu? Iya kan ? Iya nggak?”
“iya sih,” jawab Roni.
“iya juga ya,” timpal Sholeh.
“he e,” susul Taka.
“iya bener,” sahut Udin.
Ustadz Qomar lalu menoleh kepadaku dan bertanya, “kenapa diam?”
“ah, o…ya, saya merasa apapun jalan keluarnya. Tidak akan lebih baik dari yang kita rasakan saat sebelum peraturan itu ada.”
Ustadz Qomar malah tersenyum mendengar kata-kataku.
“dan, ya… kita juga tidak bisa mengkritik, entah itu karena hal adi kuasa atau memang tidak dikritik. Padahalkan, kalau tidak ada kritikan malah gak akan maju-maju. Soalnya, kritikan itu untuk kebaikan, untuk merubah menuju arah yang lebih baik.”
Ustadz Qomar lalu kembali menoleh pada anak buahnya. Meninggalkanku di pojok kamar dengan pikiranku. Yah, dengan pikiranku yang langsung flashback pada saat sebuah peraturan baru yang beberapa bulan lalu keluar juga. Yang jeras, hal itu adalah sebuah diskriminasi pada santri putra. Padahalkan, yang salah hanya beberapa santri dari yang ribuan.
Ustadz Qomar dan teman-teman masih saling beropini tentang peraturan yang baru itu, sedangkan aku semakin merasa menjauh dari mereka, memikirkan nasib majalah sekolah yang aku pimpin sekarang tanpa sebuah komputer di kantor OSIS yang masih saja belum mendapat restu dari pengasuh.
Kamis, 241209 SM. Pas Pulang SMA
Kami bagai semut
satu menggigit
basmi semua!
Ratu tahu
bisa melindungi
hanya memberi kesempatan
pada tobat mentrinya
Kami bagai semut
satu berbuat gara-gara
kena semua!
Ratu tahu
kami tak bersalah
hanya saja
kami tak tahu maksud Ratu
Kami bagai semut
kami berkorban
demi satu yang manis
Ratu tahu
kami tak nyaman
hingga kamipun terdiskriminasi
hanya mencoba sabar kami
Kami bagai semut
dari Ratu
oleh Ratu
untuk Ratu
Tapi kami bukan semut!
kami bisa pergi tanpa kembali!
Bila kami semut
kami bisa menggigit lalu pergi,
tapi apa arti kami
tanpa Ratu
sukorejo, 240209 SM in Aliyah
*Pemred KREASSI
Masa bakti 2009-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar