Powered By Blogger

Rabu, 14 Juli 2010

Hak Allah


Kalau ada siang yang paling panas, rasanya hari inilah yang paling tepat, namun AC di mobil Yuza masih mampu menepis rasa panas itu.
Kasih, peganglah tanganku, dan tatap mataku, betapa aku, mencintaimu, katakanlah saat ini sayang, bahwaku hanya milikmu, milikmu.
Lagu Salju band mengalir lembut dari radio di mobil Yuza. Laju mobil melambat lalu berhenti didepan sebuah rumah. Ia lalu turun dan masuk ke halaman rumah itu, sebelumnya ia harus membuka gerbang yang tingginya seperut.
Ting Tong
Terdengar bel berbunyi
“mana lagi nih orang?” katanya membatin.
Ting Tong, Ting Tong, Ting Tong.
Tiga kali Yuza memencet bel, namun tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah.
“mungkin, dek Agus sedang sholat di dalam” kata seorang tetangga di samping rumah Agus yang memakai jilbab, manis.
Ia kemudian duduk menunggu di kursi yang memang sudah di sediakan di teras rumah
Cklek!
Yuza langsung menoleh mendengar suara pintu dibuka.
“kemana aja, lu? Sholat?”
“ya iyalah, tanpa ya iya dong” jawab Agus lalu duduk di samping kanan Yuza.
“Gus.”
“ya,” Agus langsung menoleh, “ntar ya, ngambil minum dulu, kamu minum apa?” tanya Agus menawarkan.
“yang dingin-dingin deh, panas banget!” sahut Yuza sambil menyeka keringatnya lalu berkipas-kipas dengan tangannya.
“masuk aja.”
Yuza lalu berjalan mengekor masuk ke dalam rumah.
Beberapa saat kemudian, Agus keluar dari dalam sambil membawa dua gelas es jeruk dingin yang, wi… bikin ngiler cuy, tau kan gimana rasanya kalo panas-panas ngeliat es jeruk nipis? Gitu deh. Yuza langsung menandaskan minumannya setelah dipersilahkan oleh Agus, secara, panas gitu loh.
Setelah kembali segar, Yuza kembali ingin bertanya kepada Agus setelah tadi terpotong oleh ajakan Agus untuk masuk dan minum yang, segerrr…
“Gus.”
“em?”
“gua pengen tanya, kenapa sih, lu sholat?”
“dzcuart”
Agus terkejut mendengar pertanyaan Yuza, sampai-sampai, es yang sedang mendinginkan mulutnya dan akan meluncur ke dalam tenggorokannya harus muncrat., dan membuat Agus terbatuk batuk.
“uhuk-uhuk-uhuk”
“lu gak pa-pa?”
Agus menggeleng lalu mengelap mulutnya dengan tisu yang ada di tengah meja.
“maksudnya apaan?”
“maksud gua, buat apa sih lu repot-repot sholat, jungkir balik nunggang-nungging? Apa gunanya coba? Apa gara-gara lu Islam, trus sholat gitu? Gua yang Islam mulai dari orok sampek gede kayak gini gak sholat gak kenapa-napa? Apa lu takut masuk neraka?” Yuza langsung nyerocos dengan pelbagai pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya.
“kamu salah nanyak gituan ama saya. Seharusnya kamu tu tanyanya ama da’i, kayak ustadz Arifin itu, ato, ama kiai, di jalan-jalankan banyak nama-nama pesantren yang cari sumbangan, lu masuk aja, nanyak sekaligus nyumbang”
“alah…, gak perlu, mereka cuma orang-orang yang sok pinter aja, pakek dalil inilah, dalil itulah, hadist inilah, hadist itulah, alah…”
“ya emang harus kayak gitu, itu dasarnya,” kata Agus cepat.
“mereka salah temapat kalo ngomong kayak gitu ama anak muda zaman sekarang, kita tu gak perlu dalil, hadits, gak perlulah, yang kita butuh cuma alasan yang rasional, simple, berisi, gak ngomongin pahala, neraka, ama surga. Kita masih muda, gak butuh pahala, cari pahala itu ntar, belakangan, kalo udah mo mati, udah tuek, baru kita nangis-nangis minta ampun, tobat, kan katanya Allah itu maha pemberi ampun, so, so what gitu loh,” Yuza kembali nyerocos memojokkan Agus dengan alsan-alasan serta pertanyaan yang, terserah deh kalian nanggapinya gimana.
“mereka kalo gak siap terjun ke masyarakat, mondok lagi deh, bisanya cuma ngeluarin hadits, dalil, pahala, siksa, dosa, tetek bengek yang bagi kita nggak ada artinya” lanjut Yuza semakin berapi-api, nampaknya dari dalam hati yang sedang mecari ilahi, merindukan-Nya, dan ingin mengenal-Nya..
Agus terdiam mendengar penjelasan Yuza, memang ada benarnya juga perkataan Yuza, tapikan mereka tidak sepenuhnya salah, mereka hanya menyampaikan, dan yang di sampaikan tak akan pernah bisa lepas dari hal-hal itu, surga, neraka, pahala, dosa, ama yang lain-lainnya. Karena seperti biasa, sifat manusia yang selalu bahkan harus bin wajib dari setiap apa yang dilakukannya  ada suatu timbal balik yang setimpal, atau, malah lebih. -oleh karena itu, Allah selalu menyebut pahala dalam setiap UU yang Ia buat, mungkin- Selebihnya, di kembalikan kepada Allah, Tuhan yang satu, yang memang patut disembah, tak ada yang lain.
Tapi, mereka terkadang atau mungkin sering, salah menempatkan pesen-pesan moral yang seharusnya dapat merubah seorang manusia menjadi lebih baik, memang benar apa kata Yuza, manusia semacam kita, anak muda, gak butuh alasan-alasan yang sudah kuno, yang sudah berumur beratus-ratus tahun yang bermacam-macam, kebanyakan kita menganut aliran rasional, butuh kepada dalil ‘akli, secara akal.
“trus, maunya kamu apa?”
“alasan kamu,” jawab Yuza singkat.
Agus berpikir sejenak.
“gini emang bener apa kata kamu tadi, karena Islam kita sholat.”
“kok bisa gitu?”
“Iya, soalnya sholat itu termasuk rukun Islam yang lima, di posisi nomer dua lagi,” katanya memberitahu.
“jadi, kalo bukan Islam, kita gak harus sholat?”
“tetep. Harus, wajib malah. Kayak kita ini, kayak orang Islam,” jawab Agus mantep.
Yuza tidak percaya, “kok bisa?”
“koknya hilangkan,” kata Agus sambil tersenyum.
“ayolah, gua serius nih,” sahut Yuza sebel campur kesel karena jawaban Agus yang ada-ada aja.
“oke, menurut saya, itu yang perlu di garis bawahi, menurut saya jadi terserah orang mo bilang apa tentang pendapat saya, kalau mereka bisa mengalahkan argument saya, baru saya akan berubah haluan dengan hasil pemikiran saya, tentunya dengan menimbangkan beberapa hal, so, yang perlu di garis bawahi, saya ulangi…”
“ah… udah deh! Gak usah berbelit-belit, bribet tahu nggak. Oke, ini penadapat lu, gak masalah, wong yang gua tanyain itu pendapat lu, bukan pendapat orang lain,” potong Yuza cepat.
Agus menarik nafas dalam-dalam.
“menurut saya, cukup satu dalil, kalo dalam kamus bahasa arab, dalil artinya petunjuk, lanjut?” Tanya Agus pada Yuza, sedangkan yang ditanya menanggapinya dengan wajah sebal karena Agus terlalu banyak berintermazo.
“oke,”
“oke, oke melulu, cepetan dong!” sembur Yuza yang sedikit marah.
“iya iya, sabar dong, lu tahu gak, ceritanya nabi Musa waktu ia belajar ama…”
“iya-iya, gua tahu, cepetan dong!”
“sabar…”
“iya! Gua sabar!”
Agus tersenyum menang karena telah behasil mempermainkan sahabatnya, bukan karena apa, cuma pengen tahu, apa dia bener-bener pengen tahu dengan apa yang ia tanyakan atau hanya main-main saja, tapi itu setelah Agus melihat sikon yang mendukung untuk mempermainkan Yuza, kalo sikonnya gak tepat, bias-bisa, gagal acara dakwah yang gak sengaja nyrempet dia agar berpikir sejenak.
“bagi saya, alasan itu karena Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah kepada-Nya dan caranya adalah dengan kita sholat, surat apa itu ya?” Kata Agus mengingat-ngingat.
“bosen gua denger itu,” sahut Yuza cuek.
“lanjut?”
Yuza langsung menoleh.,“ada lagi?”
“ya iyalah, menurut lo?” jawab Agus, lucu.
“dengan kata lain,” Agus kembali serius, “itu adalah hak Allah.”
“maksudnya? Gua gak ngerti?”
“setiap sesuatu mempunyai hak, Allahpun punya hak.”
“bentar-bentar, tiap sesuatu, Allahkan bukan mahluk, katanya sih, kok dibilang sesuatu.”
“iya, saya tahu, makanya saya bilang sesuatu, bukan mahluk, Allah itukan punya dzat, mungkin? Kalo gak salah. Nah, kareana itu saya bilang mahluk, eh, maksudnya, sesuatu, karena Allah itu bukan mahluk, karena mahluk itu siwallah, selain Allah.”
Yuza diam, menunggu.
“seperti kata saya tadi, Allah punya hak, hak untuk di sembah, kita dzalim kalo hak Allah nggak kita penuhi, seperti kamu, coba kalo hak kamu saya ambil, gimana perasaan kamu,” lanjut Agus sambil memberi contoh.
“emangnya, Allah punya perasaan apa?”
“gak tahu, ya… contoh bahasanya kayak gitu dah.” Jawab Agus tak pasti.
“ya…” kata Yuza sambil memikirkan perkataan Agus.
“ya, itu.” Sahut Agus cepat.
“cuma itu?”
“iya!” kata Agus memastikan.
Yuza kembali diam, mencoba mencerna semuanya, berharap mendapatkan sesuatu, semacam pencerahan.
“sudah terlalu banyak alasan-alasan yang sudah dikeluarin ama ustadz-ustadz, da’i, kiai, macem- macemlah. Tapi, alasan yang paling rasional bagi saya juga ada.” sambung Agus.
“apaan?” tanya Yuza penasaran dengan perkataan Agus mengenai “alasan yang paling rasional”.
“karena kita ciptaan Allah, kita hamba Allah, dengan kata lain, kita budak Allah,” jawab Agus to the point.
Yuza kembali berpikir, mencerna apa kata Agus.
“sebagai budak, kita harus mengikuti apa kata tuannya,” lanjut Agus, “tapi dasar itu cukup kita pakai untuk kita sendiri, kalo mau disampaikan ama orang lain, lihat sikondomnya dulu, situasi dan kondisinya.”
Sekali lagi, Yuza diam, berpikir serius.
“katanya buat kita sendiri, kok kamu kasih tahu ama saya?” Tanya Yuza.
“ya, seperti kata saya, lihat sikondomnya, saya lihat kamu kurang puas dengan alsan-alasan yang saya keluarin tadi, ya, saya kasih tahu, lagi pula, sikondomnya cocok kok.” Agus beralasan.
“udahlah, kalo kamu pengen dapet pencerahan dari saya,jangan terlalu berharap banyak deh, semuanya tergantung ama Allah. Nabi Muhammad aja sampek tiga hari tiga malem gak makan gak tidur terus berdo’a karena pengen ngislamin pamannya, ama Allah di tolak, karena Allah gak ngehendakin, ya… kalo seandainya Allah ngehendakin, semoga aja, amin. Kamu bisa mendapat semacam pencerahan, tapi bukan dari saya, saya cuma perantara aja, tapi kok pake kata pencerahan ya? Kayak dakwahnya pastur-pastur orang Kristen, pencerahan? Oke juga,” kata Agus membatin.
“udah?” Tanya Agus.
Yuza tidak bergeming.
“ah, udahlah, semuanya kita kembalikan kepada Allah, mungkin saja, di lain waktu, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, enjoy, tek ezy men,” lanjut Agus.
“so, kamu mau apa kesini? Apa cuma pengan tanya itu? gak percaya saya.”
Yuza masih tetap diam, berpikir, serius.
“woi?!” Agus berteriak nyaring, mengagetkan, spontan saja, Yuza terperanjat kaget.
“apaan sih, lu?” kata Yuza sebal konsentrasinya terganggu.
“ya kamu itu, ditanyain malah diem”
“gua lagi berpikir, serius nih!”
“udahlah, berpikirnya dilanjutin nanti aja,”
“tapikan…”
“duh… nanti ajalah, sebenernya kamu mau apa ke sini?“ Agus mngulangi pertanyaan.
“gua, gua,” Yuza mengingat-ngingat apa tujuan sebenarnya ia datang ke sini.
“apa? Mo ngutang?”
“enak aja, lu!” sembur Yuza spontan, cepat., “oya, gua datang ke sini mo ngajak lu jalan-jalan.”
“panas men.” Tolak Agus sambil kipas-kipas dengan tangannya sendiri.
“kan di mobil gua ada ACnya.”
“macet,” kata Agus sambil menirukan aksen Cinta Lura.
“trus? Percuma dong gua datang jauh-jauh ke sini,” sahut Yuza kecewa.
Agus berpikir sejenak..
“gimana kalo ikut saya,” kata Agus memecah kebuntuan.
“kemana?” Yuza tak mengerti.
“udah ikut aja,” kata Agus sambil berjalan ke taman belakang.
 Sesampainya di sana.
“wui…, bagus juga,” kata Yuza sambil mengedarkan pandangannya keseluruh taman belakan Agus, tiba-tiba matanya berhenti dan senyumnya yang tadi terkembang hilang, pada sebuah pohon setinggi dada yang daunnya digunting bundar.
Agus datang dari dalam dengan nampan yang di atasnya bertengger dua buah gelas besar es jeruk yang, slurup! Ditemani dengan kue-kue kecil yang nampaknya bikinan sendiri.
“kanapa, Za?” Tanya Agus heran melihat air wajah temannya.
“itu pohon apa?”
“yang mana?”
“itu,” kata Yuza sambil menunjuk pohon yang dimaksud.
“o…, itu beringin,” jawab Agus santai.
“hah?!” Yuza terkejut mendengar jawab Agus, “ngapain lu nanem pohon beringin? Ntar ada penunggunya, loh?!“
“nyaintai aja.”
“lagi pula saya sering baca haddad, kok” kata hati Agus, “warisan dari pondok…”
“nggak cuma beringin,” lanjut Agus, “itu di sana juga ada pohon jati,” katanya sambil menunjuk pohon di pojok yang lain, “cuma, ya itu, masih kecil, investasi masa depan!” lanjutnya mantap.
Yuza hanya geleng-geleng kepala mendengarkan Agus, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan kedua pohon itu, padahal itukan pohon ynag langka n’ termasuk yang dilindungi, apa lagi yang beringin, meski masih kecil, masih setinggi dada, sudah keliatan serem, ih…, gimana kalo malem-malem, jangan-jangan ada…, udah ah!
“woi, ngelamunin apa? Ngelamunin Ara, ya””
“enak aja! Siapa juga yang mikirin dia”
“cie…”
“apaan sih lo?! Emangnya kenapa kalo gua mikirin dia”
“gak pa-pa, berarti, bisa ditarik kesimpulan, barusan kamu ngayalin dia, ayo, ngaku?”
“normal kale, kalo gua mikirin dia.”
Agus tersenyum, memang apa salahnya kalo sahabatnya mikirin Ara, dia bukan apa-apanya Agus kok, Agus sadar itu dan Agus tahu, bahwa sahabatnya ini suka, atau mungkin cinta kepada Ara. Sayangnya, Ara beda sekolah dengan mereka berdua, sekolah yang menjadi musuh bebuyutan dalam arena tawuran yang mengegenerasi sampai sekarang, bagaimana mereka akan melewati rintangan yang sangat berat itu. Tapi, seperti kata pepatah, biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, kalo gak salah kayak gitu.
“ya udah deh, diminum dong! Mumpung masih dingin,” kata Agus lalu meminum es jeruknya lagi.
“iya!”
Mereka berdua menikmati panas hari itu dengan angin sepoi-sepoi, es jeruk, kue-kue kecil buatan tangan Agus sendiri serta alunan lagu yang mengalir dari dalam rumah. Panas!

Sukorejo, kamar terpisah
26 Pebruari 2009
+/- 10.52 WIB

Tidak ada komentar: