Powered By Blogger

Rabu, 14 Juli 2010

SAHABAT


Seperti biasa, Global Warming menghadirkan panas yang tak terelakkan entah di Bandung, Malang, dan kota-kota hujan lainnya, apalagi di kota Metropolitan seperti Jakarta, Surabaya. Entah sudah berapa lama, akibat fermentasi bumi yang terlampau cepat karena adanya bantuan dari polusi asap-asap knalpot yang tak pernah berhenti menghembuskan asapnya bagai pecandu rokok kelas wahid.
Siang itu, aku dan sahabatku, Roni, baru pulang dari kuliah yang membuat kami harus berjalan dibawah atap teras toko, mencari keteduhan dari sengatan sinar matahari. Namun, terkadang kami harus mengalah untuk menghindar kesana-kemari agar tidak bertabrakan dengan orang-orang yang menjadi raja ditoko dan orang-orang yang senasib dengan kami.
Kulitku yang lebih gelap dari kulit Roni yang berwarna putih itu lebih banyak menyerap panas yang dipantulkan oleh aspal, akibatnya, keringatku pun berbanding dua kali lipat dari keringat Roni, tapi tak apalah, hitung-hiung detoksitifikasi gratis tanpa perlu bersouna.
Mobil Roni sedang rusak, jadi, taksi yang kami cari sejak tadi tak terlihat, dan hal itu semakin memperburuk keadaan kami.
      “Buk…!”
      “Au….”
      “Sorry..”
      Roni menabrak seorang perempuan dan semua buku yang dibawa perempuan itu berjatuhan. Secara reflek, Roni berjongkok, membantu memungut buku-buku yang berjatuhan tadi.
      “Sorry, g’ sengaja” kata Roni.
      “G’ sengaja, aku juga g’ ngelihat” jawab perempuan itu.
      Setelah selesai, mereka bedua bangkit, Roni mematung sesaat dan langsung menjulurkan tangannya mengajak berkenalan.
      “Roni…..” sambil menjulurkan tangannya.
Perempuan itu menjambut tangan Roni.
      “Silvi….”
Roni seakan-akan lupa dengan panas yang sudah membuat aku seperti ubi rebus.
      “Itu?” tanya Silvi kepada Roni.
      “Oo… dia sahabat gue, namanya Aji”
      “Maksudnya Azi,” sahutku karena Roni salah menyebut namaku.
      “Biasa, lidah keturunan orang betawi g’ bisa bilang Z” lanjutku.
      Aku membiarkan Roni berbincang-bincang dengan perempuan itu, aku melihat ada cahaya kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya, aku tidak mau menghapus itu, biar selesai sendiri, lagipula, aku sudah mulai biasa dengan panas ini.
Selesai mereka berpisah dan mata Roni masih mebuntuti Silvi,
      “Men…..” katanya. “Sepertinya gue Ji. Ci. Pi. Three,”
      “Apaan tuh???” aku tak mengerti.
      “Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama”
      Aku mematung tanpa aku sadari, aku menurunkan tas yang sejak tadi menaungiku.

      Kebahagian sahabat adalah segala-segalanya, seorang sahabat akan bahagia bila sahabatnya bahagia, begitulah yang aku rasakan saat ini, Roni sedang jatuh cinta, kalian pasti tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, tak ada kata yang pas agar orang tahu bahwa kita sedang jatuh cinta, seakan-akan kata cinta tak bersinonim dan tak berantonim, kata tunggal yang tak dapat diartikan kecuali oleh kata itu sendiri.
Akibatnya, malam aku dugem di Retrix sendirian, maksudku tanpa sahabat, meski kelima teman-temanku menemaniku.
Asap rokok dan suara musik yang dimainkan D.J. langsung menyambut kami. Kami terhenti untuk mencari tempat kosong, namun, imposible karena kebetulan malam ini malam minggu, jadinya, tempat ini lebih ramai dari biasanya.
      “Guys, gue duluan ya!” kata Doni.
      “Mo kemana, loh???” kata Steve.
      “Ada yang nungguin gue!”
Doni  melangkah, namun segera kami tarik kembali.
      “Siapa?!” tanyaku sambil berteriak.
      Kami semua terpancing oleh kata-katanya, soalnya,  ke Retrix saja kami tidak janjian, kok dia ada janji disini, dan yang mengherankan lagi, yang mengusulkan kita datang kesini adalah Jo, karena kebetulan kami berlima adalah Jo Jo Ba (Jomblo Jomblo Bahagia).
      “Semua cewek-cewek yang ada disini!”
      “Whooooooo……”
Kami serentak menyorakinya, mendorong-dorong kepalanya.
      “Emangnya kenapa?”
      “Sok kegantengan loh!!” kata Zaki mewakili suara kami.
      “Apa?!” tanya pura-pura tidak mendengar.
      “Sok kegantengan loh!!” teriak Zaki lagi.
      “Apa?!”
Kami kembali mendorong kepalanya.
      “Udah-udah ayo!” ajak Jo.
      “Kemana?” tanya Ori.
      Jo menunjuk tempat dipojok ruangan kiri, disana ada lima cewek yang sedang minum-minum dan merokok, salah satunya ada yang melambaikan tangannya kepada kami.
      “Jalan bos!” kata Doni.
      Doni berjalan duluan, membelah lautan manusia yang bergelombang karena musik yang dimainkan oleh D.J. Namanya saja Doni, sambil berjalan menuju tempat yang Jo maksud, ia menggoda cewek-cewk yang ditemui meski disampingnya ada cowoknya.
      “Keterlaluan, untung kamu g’ dikeroyok” kataku setelah kami keluar dari gerombolan manusia itu.
      “Maksud lo?”
      “G’ ngeliat pacar cewek-cewek yang lo godain pada marah” sahut Ori.
      “Ceweknya seneng gue godain”
      “Whoooooo….”
      Mereka berlima langsung duduk disamping cewek-cewek teman perempuan Jo, sedangkan aku duduk dipojok bangku disamping Jo. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri yang sengaja aku buat sibuk agar tidak kosong.
      “Zi….”
      Jo menyikutku, aku langsung menoleh dan bertanya dengan bahasa tubuh, mengangkat kepalaku sedikit sebagai ganti dari kata “apa??”
      Jo menunjuk ke kerumunan orang-orang yang sedang terhipnotis oleh lagu D.J dengan kepalanya. Aku lalu menoleh ke arah yang Jo maksud.
      Silvi.
      Tak sengaja maku manankap tubuhnya yang sedang bergoyang-goyang yang sedang mengikuti derap musik. Jo lalu bangkit lalu berjalan mendekatinya.
      “Hai…..”
      Ada sebuah suara yang menyapaku dari belakang. Aku menoleh dan teman perempuan Jo sudah menjulurkan tangannya.
      “Yuri….” katanya memperkenalkan diri, aku menyambutnya.
      “Azi…..”
      “Whei…minum-minum” kata Doni kapada kami semua sambil membagikan gelas-gelas yang berbuih.
      “Oke…!sebelum kita minum, lebih baik kita toss dulu, sebagai tanda di mulainya pertemanan kita,” lanjutnya
      Triiiing…..
      Gelas-gelas kami saling beradu dan dengan cepat mereka menghabiskan minumannya masing-masing. Sedang aku kembali ke Jo dan Silvi yang kelihatannya semakin akrab.
      “Kok g’ di minum???”tanya Yuri dari belakang.
      “Ah.g’..g’ minat aja” Aku lalu menaruh gelas itu ke meja.
      “Rokok??”katanya sambil menyodorkan sebatang rokok L.A menthol
      “Makasih”tolakku halus.
      “Atau ini???”katanya lagi sambil menyodorkan sesuatu yang di bungkus oleh kertas rokok.
      Aku menerimanya dan memandang benda itu.
      “Hanya dengan ini,otak manusia yang ingin mengalahkan kekuatan Tuhan bisa di buat bagai bayi” Pikirku.
      “Sorry aku g’maen ginian” Aku mengembalikannya pada Yuri yang sudah menyulut rokoknya.
      “Loe g’ ngerokok???
      “Terserah……”
      Aku kembali menoleh ke arah Silvi dan Jo. Entah apa yang mereka bicarakan, namun, mataku dibuat terbalalak, mereka ciuman. Okelah aku anggap itu tak apa, hal itu adalah sebuah kemakluman di zaman yang tambah edan ini.
***
      Hari berganti dan kejadian semalam tak mungkin aku ceritakan pada Roni, biarlah hal itu menjadi rahasia. Roni semakin bahagia, karena  ternyata Selvi kuliah di Universitas yang sama dengan kami, akan tetapi, hal yang membuat kami terkejut adalah dia putri dari Rektor kami.
      Waktu bergulir, sore datang dengan membawa matahari ke barat. Hari ini, hari paling sibuk bagiku, dari pagi sampai sore aku harus kuliah. Namun, untung saja sore ini sedikit mendung, jadi sinar matahari sore yang memang masih panas tak kurasakan.
      Sekali lagi silvi.
      Aku melihat dia bersama seorang cowok turun dari bis kota, berbincang-bincang sebentar dan sekali lagi, aku melihatnya berciuman dan ia pun pergi dengan taxi yang ia stop. Aku kembali berjalan menuju halte bus yang kebetulan cowok yang tadi bersama silvi duduk di sana.
      “Misi…”, kataku.
      “Oh, iya”
      “Sendirian mas?” tanyaku basa-basi
      “Iya”
      “Tadi pacarnya?”
      “Yang mana?” tanyanya tak mengerti
      “Yang tadi itu”
      “Oh…, iya, emang kenapa?”
      “Enggak cuma beruntung aja mas punya pacar secantik dia”, jawabku, agar emosinya yang tadi sedikit keluar meredup.
      “Ya iyalah, gue gitu loh”, katanya bangga
      Bis datang dengan sedikit kejantanan yang dimilikinya agar tetap bisa menyusuri jalan-jalan kota, meskipun ia sudah udzur.
****
      Matahari kembali muncul, untung saja ia masih muncul dari timur, tak melawan kodrat-Nya hingga suatu saat ia akan menjalanka perintah-Nya untuk terbit dari barat.
Hari ini aku melihat wajahnya murung, padahal dua hari yang lalu ia mengatakan bahwa ia falling in love.
      “Kenapa bro?”, tanyaku.
      “Kayaknya gue gak pantas sama silvi”, jawabnya dingin.
      Aku terkejut mendengar jawabannya, padahal, kemarin malam aku melihat ia berciuman dengan jo di retrix, esok singnya, bersama pacarnya, dan semalam aku melihatnya bergelayut pada Om Om di parkiran mall.
      “Maksudnya?”, tanyaku tak mengerti sekaligus tak percaya.
      “Ya…, gue ngerasa gak pantes ajaama silvi. Dia cantik, pinter, anak ektor kita,                     gue?”
      “Hah? Cuma itu?”
      “Maksud, lo?”
      “Cuma gara-gara yang tiga iu kamu ngerasa gak pantes ama dia!” jawabku sedikit     kesal karena dia tak tahu apa yang telah silvi lakukan, meski aku hanya tahu                          sekelumit saja.
      “Terus …, gimana?”
      “Ya…, kalau aku pikir, malah dia yang gak pantas teima cinta kamu, coba kamu lihat, kamu itu ganteng, pinter, tajir punya, bapak direktur  dua perusahaan, dan yang paling penting, dia g’ punya sahabat seperti aku,” kataku sambil sedikit  membanggakan diri.
      “Jadi…, menurut lo, gue pantes ma dia?” tanyanya setelah ke-pede-annya bangkit lagi.
      “Lebih..!!”
      “Thanks, bro. lo emang sahabat sejati gue, gue tadi g’ pede untuk nembak dia,  sekarang, berkat loe, gue bakal nembak dia sekarang, thanks bro,” katanya lalu pergi.
      “Hah!” aku tak mengerti, padahal, maksud perkataanku tadi agar dia tidak berfikir  untuk menjadikan Silvi pacarnya, karena dia tak pantas untuknya.
      “Woi, Ron! Maksudku……, ahhh….”
      Ia tak mendengarnya, ia malah melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum.
****
      Malam datang, bulan pun harus memantulkan sinar matahari agar bumi sedikit bersinar meskipun itu percuma, atau setidaknya agar orang-orang tahu bahwa ia masih eksis menemani bintang-bintang berkelap-kelip untuk menghiasi langit bumi yang kini berwarna hitam.
      Malam ini, aku, Roni, dan pacar barunya, Silvi, akan merayakan hari dimana mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih. Namun sayang, sampai pukul 21.00 WIB, masih belum terlihat batang hidungnya.
      “Truss gimana????” tanyaku.
      “G’ tau, Hpnya juga g’ aktif” jawabnya sambil tetap berusaha menghubunginya untuk kesekian kalinya.
      “Kalau menurutku, kamu putusin aja dia.”
      “Hah?!” dia terkejut mendengar perkataanku, “Maksud looo apa?!” lanjutnya.
      “Putus, kamu putusin dia, kamu yang nembak, kamu yang putusin,”
      “Tuh, khan?! Lo yang nyemangatin gue, sekarang, loe yang nyuruh gue mutusin dia, maksud loe apa? Jangan gara-gara dia lom dateng, loe nyuruh gue untuk
      Mutusin dia, g’!” katanya lalu bersandar pada sandaran bangkunya.
      “Maksud ku waktu itu bukan, bukan untuk menganjurin kamu supaya nembak
      Dia, aku cuma g’ mau kamu masuk ke lubang buaya.
      “Udah dech, loe mabuk?, ya?
      “Nggak, Aku sadar kok!”
      “Truss maksud lo apa, lo gak mau gue masuk ke lubang buaya?”
      “Ya…”
      “Ah …, udah lah, lo udah ngantuk, ya? Ya udah kita pulang,”katanya memutus perkataanku, memanggil wait trees dan membayar billnya dan mengajak aku pulang. Aku bersikeras untuk tetap tinggal. Namun, aku harus mengalah, karena aku sadar, ia menahan emosinya karena yang sedang berbicara dengannya adalah sahabatnya.
****
      Sekali lagi,, kudapati dia sedang berjalanbergandengan dengan mesrah, dengan seorang cowok, sayang, roni tak melihat hal ini, ia harus menemani maminnya berbelanja, meski ia berada di mall ini.
      Kesempatan
      Silvi sedang berbicara dengan teman-temannya dan cowok yang tadi bersamanya duduk agak jauh dari dirinya, aku mengham piri cowoknya dan sedikit berbasa-basi agar terasa akrab.
      “Pacarnya, mas?” tanyaku sambil memandang kearah orang yang tadi bersama Silvi.
      “Oh…, iya “
      “Cantik, ya!’ tanyaku  sambil tersenyum bersahabat, namun, reaksi wajah Raihan langsung berubah.
      “Maksud lo apaan?!”
      “Ye…, jangan marah mas!
      “Lo nantangin gue!”
      “Hah? Ya…, e…, maksudnya buka begitu akukan Cuma muji aja, masa gak boleh?”
      “Oh…, kata gue apaan “.
      Waktu habis, silvi terlihat mengatakan permisi padanya sambil memberikan senyum bersahabat, beralasan ditunggu oleh teman, meski itu kenyataan, siapa tahu Roni sudah selesai dengan maminya, menolak agar aku tak usah dikenalkan pada pacarnya.
****
      Malam kembali datang, malam ini aku menemani Ronim makan rujak di rumahnya dan malam ini aku bulatkan niat untuk membeberkan semua kebohongan Silvi.
      “Ron, menurut kamu, Silvi itu gimana?”
      “Maksud lo?’ tanyanya sambil mengupas mangga.
      “Ya…., gak tau, cinta aja?
      “Menurut kamu, dia bakal setia, nggak?”
      Mendengar pertanyaan ku, ia menghentikan pekerjaannya dan menatapku tajam.
      “Maksud lo apaan?!” tanyanya dingin.
      “Ya….”
      “Udah deh, gak usah mulai,” Ia kembali melanjutkan pekerjaannya dan sepertinya atau lebih tepatnya, pastinya ia sudah mengerti maksudku.
      “Ya…”
      “Lo gak mau gue masuk ke lubang buaya, gitu?”
      “…….”
      “Maksud lo apaan?! Gue gak ngerti ama pikiran lo!” ia kembali mengupas setelah sesaat memandangku.
      “Soalnya kamu gak tau siapa dia!
      “Truss lo tahu apa?!” katanya sambil berteriak serta mangga dan pisau yang sejak tadi ia genggam.
      Aku diam tak segera menjawab, agar emosi tidak mempermainkan aku dan roni. Sepertinya roni mengerti keterdiamanku, ia memungut pisau dan mangga yang tadi menggelinding. Ia mengupas sambil berdiri dan aku pun juga ikut berdiri, lalu bersandar pada dinding belakang sofa yang tadi aku duduk.
      “Sebenarnya, aku gak mau bilang ini ama kamu,”
      “Apa?”
      “Sebenarnya sebelum kamu jadian ama silvi, aku udah gak setuju,”
      “Ok, truss…”
      Dia tetap tenang ku harap terus berlanjut tanpa ada permainan emosi.
      “Malamnya, setelah kamu kenalan ama silvi, aku pergi ke retrix ama deni, steve, ori dan juga jo, kamu gak bisa ikut karena…”
      “Ya…” ia memotong perkataanku sambil mengangguk-ngangguk dan menaruh mangga yang sudah ia kupas lalu mengambil yang satunya lagi.
      “Di sana, jo kenalan ama silvi,”
      Ia menoleh lalu melanjutkan pekerjaannya.
      “Aku lihat dia…”
      “Apa?”
      “Dia…”
      Glek
      “Dia ciuman ama silvi”
      Ia berhenti mengupas kulit apel itu, lalu melanjukannya kembali.
      “Terus besok sorenya, aku ngelihat dia ma turun cowok dari bis kota”.
      “….”
      “Trus, dia ciuman ama cowok itu, aku tanya ma dia, apa dia pacarnya atau bukan?”
      “Trus,?”
      “Iya”
      “Sepupunya kali?”
      “Buat apa dia ciuman, di tempat umum lagi!”
      Dia terdiam.
      “Tadi siang, waktu kita nganter mami kamu ke mall,”
      “Kenapa lagi?”
      “Aku, ngeliat dia jalan ama cowok, waktu ia ngomong-ngomong ama teman-temannya, aku kenalan ama cowok yang tadi jalan ama dia!”
      “Pacarnya juga?”
      “Iya, katanya.”
      “Menurut lo?”
      “Yang paling parah,”
      “Apa? Ia menoleh, wajahnya terlihat beku.
      “Kemaren malem, dia jalan gandengan ama om-om di parkiran mall.”
      Dia terlihat terkejut.
      “Jangan ngefitnah deh lo!” kata-kata terdengar dingin.
      “Ya deh, buat apa juga aku fitnah dia, apa untungnya?!”
      “Gue sebenarnya udah mikir, waktu lo ngomong di puncak, kalo lo gak setuju gue jadian ama silvi, jangan-jangan, lo naksir ama dia?!”
      “Najis, aku naksir ama cewe murahan kayak dia!”
      “Eh jaga tu mulut ya!” katanya sambil menunjuk mukaku.
      Emosi masih dapat ditahan hingga saat ini, akibatnya, setiap perkataan yang keluar terasa dingin.
      “Buat apa aku jaga mulut buat cewek murahan macam dia!”
      “Jangan fitnah deh lo!”
      “Buat apa aku ngefitnah!” aku jadi ikut berteriak.
      “Aku cuma g’ mau”, kataku dengan nada rendah.
      “Kamu dimainin ma dia”.
      “Urusannya ama lo apa?” ia ikut merendah.
      “Aku ini sahabat kamu”.
      “Bullshit! Seorang sahabat pasti senang bila sahabatnya senang!”
      “Buat apa aku senang kalo sahabatku damainin!”
      Kami terdiam cukup lama.
      “Gak percaya gue.”
      “Jadi, kamu lebih percaya dia? Cewek yang baru kamu kenal kemarin dari pada sahabat kamu sendiri!” jawabku.
      “Sahabat yang gak ngedukung sahabatnya!”
“Sahabat gak mungkin ngebiarin sahabatnya masuk lubang setan.”
”Atau setan yang ngakunya sebagai sahabat?”
      “Buat apa sahabat jadi setan kalo kebahagiaan sahabatnya adalah kebahagiaannya!”
      “Brengsek!!”
      Jleeeb
      “Ah……..”
      Aku merasa lambungku robek oleh pisau yang dipakai oleh Roni untuk mengupas mangga yang kini telah berada dalam perutku. Entahlah, kenapa waktu Roni berlari ke arahku dan menancapkan pisau yang sejak tadi digunakannya, entah apa yang ada dipikirannya waktu itu, ia pasti khilaf , tidak sadar sewaktu ia melakukan ini. Aku lebih senang menyebutnya begitu, bahwa ia sedang kalap, daripada ia melakukannya secara sadar dan mengikuti keinginan hatinya. Tak perlu kau tanyakan kenapa aku lebih senang mengatakan dia sedang kalap, cukup tiga kata.
      “Karena aku sahabatnya.”
      Pisau itu bergetar, Roni bergetar dan kulihat di sana, air matanya mengalir dari kedua bola matanya yang tak percaya harus membuka bendungannya yang sudah lama terkunci rapat karena hal ini.
      “Ji, sorry Ji, gue, gue, gue, gue gak sengaja.”
      “Ya, aku tahu itu sahabat, tenang saja, masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum asam-asam lambungku merembes ke seluruh rongga dadaku. Meracuni dari dalam tanpa engkau ketahui.
      Aku tersenyum, aku menjawab permohonan maafnya dengan senyum seorang sahabat. Aku melorot kebawah dan duduk di lantai dengan bantuannya.
:     Ji, lo harus tetap sadar, Ji. Gue ambil mobil dulu” katanya dan kulihat ia berlari menuju garasi.
      Ternyata, pikiranku meleset, asam-asam itu lebih cepat meracuniku. Aku batuk kecil dan darah keluar dari mulutku. Takkan sempat.
*****
      Hari ini aku menusuk perut sahabatku, Uji, baiklah, Uzi, entahlah apa yang aku pikirkan waktu itu, namun aku sadar saat aku melesitkan pisau itu keperut Uzi, aku melakukan itu dari hati, dari dalam hati, karena ia sudah keterlaluan, tapi aku tak kembali berfikir, apakah karena seorang wanita aku haarus membunuh dahabatku.
      Selesai…
      Mobil telah siap, dengan cepat  akau berlari ke dalam rumah dan…..
      “Ji…..”
      Ia bergerak, kepalanya menunduk, aku mematung sesaat, tak percaya dengan yang ku lihat, dengan keadaan Uzi. Aku berhambur ke arahnya, menggoncang-goncangkan tubuhnya, menegakkan kepalanya sambil menepuk-nepuk pipi kirinya dengan tangan kananku sambil memanggil-manggil namanya, berharap ia akan sadar.
      Mati……





Tidak ada komentar: